Seorang pedagang di suatu toko, omzet penjualannya turun, pembeli dari hari ke hari semakin berkurang, bahkan tidak ada, dalam keadaan seperti itu dia menurunkan harga barang dagangannya sampai hampir di bawah harga modal demi melariskan dagangannya agar dapat uang untuk melunasi sewa tokonya. Jika kejadian tersebut berlangsung terus menerus maka modalnya akan habis dan bisa dipastikan pedagang tersebut akan bangkrut alias pailit.Gambaran di atas adalah contoh orang bangkrut yang ada di kepala kita. Alih-alih mendapat untung malah modal tak urung buntung. Setidaknya begitu juga mungkin gambaran pertama yang ada di pikiran Sahabat Rasulullah ketika ditanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang siapa orang yang muflis (bangkrut). Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang yang bangkrut itu tidaklah seperti apa yang kita pahami. Orang yang bangkrut menurut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seperti apa yang diberitakan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut (pailit)
itu? Maka mereka (para sahabat) menjawab: orang yang pailit di antara
kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan: “orang yang pailit dari
ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala)
shalat, puasa dan zakatnya, namun dia datang dan (dahulu di dunianya)
dia telah mencela si ini, menuduh (berzina) si itu, memakan harta si
ini, menumpahkan darah si itu dan telah memukul orang lain (dengan tidak
hak ), maka si ini diberikan kepadanya kebaikan orang yang membawa
banyak pahala ini, dan si itu diberikan sedemikian juga, maka apabila
kebaikannya sudah habis sebelum dia melunasi segala dosanya (kepada
orang lain ), maka kesalahan orang yang didzalimi di dunia itu
dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke api neraka. (HR.
Muslim).
Begitulah yang sampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang yang bangkrut itu adalah orang yang intinya adalah orang yang
ketika didunia ia shalat, puasa dan membayar zakat tetapi pernah
menganiaya orang lain. Dan karena aniayanya itu semua amal kebaikannya
ketika di dunia akan habis, modal amal kebaikan yang dibawanya tidak
bersisa untuk membayar kepada orang yang dianiayanya ketika di dunia.
Ketika habis semua modal pahala itu masih juga dilimpahkan dosa dari
orang-orang yang lainnya yang dianiayanya. Yang pada akhirnya orang
tersebut dimasukkan kedalam neraka. Sebuah kesusahan yang tak lagi bisa
disesalkan.
Dari hadits di atas, kita bisa simpulkan bahwa bangkrut di akhirat tidaklah sama dengan bangkrut di dunia. Jika di dunia, bangkrut identik dengan harta, maka bangkrut di akhirat berkaitan dengan amalan kita, entah itu kebajikan atau keburukan.
Seseorang akan dinyatakan bangkrut di akhirat jika amal kebajikannya
tidak hanya habis untuk ‘membayar’ kejahatan yang dia lakukan, namun dia
harus mendapat ‘sumbangan’ amal keburukan dari orang-orang yang pernah
dia aniaya/perlakukan tidak baik.
Di dunia ini, mungkin banyak orang-orang yang merasa kuat dapat
membebaskan diri mereka dari jeratan hukum akibat perbuatan dzalim
mereka terhadap orang lain, baik berupa hutang, membunuh tanpa alasan
yang dibenarkan oleh Allah, mencaci maki orang lain dan sebagainya,
namun tidak demikian dengan hukum dan keadilan yang Allah tegakkan di
hari kiamat kelak, pada saat itu tidak seorang-pun yang dapat
membebaskan diri dari kesalahannya selama di dunia yang dia tak pernah
bertaubat dan menyesalinya, orang yang mereka dzalimi datang kehadapan
Allah mengadukan kedzaliman orang tersebut sedang ia bergantung dengan
kepala saudaranya sambil berkata : wahai Tuhan-ku tanyakan kepada orang
ini (yang telah membunuhku) kenapa dia telah membunuhku di dunia? dan
sebagainya, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada ummatnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa
kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta
halal (maaf)nya sekarang juga sebelum datang suatu hari yang tiada harta
dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil
menurut penganiayaannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan),
maka diambilkan dari kejahatan orang yang dianiaya untuk ditanggungkan
kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim).
Oleh karena itu, segeralah kita membebaskan diri kita dari mendzalimi
orang lain, penuhilah setiap yang mempunyai hak akan haknya, dan jangan
menunggu hari hari esok karena tidak seorangpun yang mengetahui akan
keberadaannya di esok hari.
Bahaya Ghibah
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa kebangkrutan bisa
terjadi karena amal baik kita habis dipakai untuk membayar dosa-dosa
yang kita lakukan terhadap orang lain yang belum sempat minta maaf dan
dimaafkan. Bisa jadi seseorang yang rajin beribadah, banyak amalnya,
tapi di akhir tetap bangkrut, karena selain beribadah ia juga rajin
berbuat dosa, bukan hanya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama
manusia. Justru perbuatan salah dan dosa kepada manusia inilah yang
seringkali menyulitkan kita, karena untuk menebusnya tidak cukup dengan
bertaubat, tapi harus berhadapan langsung dengan yang bersangkutan untuk
meminta maaf. Lebih parah lagi kalau kita melakukan tindakan atau
perbuatan yang tidak kita sadari bahwa sesungguhnya perbuatan kita
tersebut berdosa, seperti melakukan ghibah. Kalau ini terus kita
lakukan, sampai tiba saatnya kita meninggal dan belum sempat meminta
maaf kepada orang yang pernah kita pergunjingkan, siap-siap saja kita
akan menjadi orang yang bangkrut. Semua amal baik kita digunakan untuk
membayar semua kesalahan kita kepada orang lain, dan bahkan mungkin
tidak cukup, sehingga dosa-dosa orang lain harus kita tanggung sebagai
pengganti dosa kita kepada mereka.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.
Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat
lagi Maha Penyayang”. (Al Hujurat: 12)
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
peringatan kepada orang-orang yang beriman, supaya mereka menjauhkan
diri dari su’uzhan (prasangka buruk) terhadap orang-orang beriman. Jika
mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari saudaranya yang mukmin
maka kalimat itu harus diberi tanggapan dan ditujukan kepada pengertian
yang baik, jangan sampai timbul salah paham, apalagi menyelewengkannya
sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan penyebab wajibnya orang mukmin menjauhkan diri dari prasangka yaitu karena sebagian prasangka itu mengandung dosa.
Mengenai definisi ghibah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang
sesuatu yang ia benci. “Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana pendapatmu bila yang diceritakannya itu benar ada padanya?
“Rasulullah menjawab, “Kalau memang benar ada padanya, itu ghibah
namanya. Jika tidak benar engkau berbuat buhtan
(dusta).”(HR.Muslim,Tirmizi,Abu Daud, dan Ahmad).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecam orang yang suka ghibah dan mencari-cari kesalahan orang. Diriwayatkan oleh Abi Barzah al-Islami, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi
iman itu belum masuk juga dalam hatinya, jangan sekali-kali kamu
berghibah (bergunjing) terhadap kaum muslimin dan jangan sekali-kali
mencari noda atau auratnya. Karena barang siapa mencari-cari noda
mereka, maka Allah akan membalas pula dengan membuka noda-nodanya. Dan
barang siapa yang diketahui kesalahannya oleh Allah, niscaya Dia akan
menodai kehormatannya dalam lingkungan keluarganya sendiri.”
Ghibah seringkali dilakukan tanpa kita rasakan, bahkan sekarang
menjadi hiburan yang dikemas dalam tayangan-tayangan infotainment.
Sebagai orang yang peduli dengan akhirat, maka sudah seharusnya kita
menjauhkan diri dan keluarga kita dengan tayangan semacam itu. Mungkin
kita berkilah bahwa kita hanya sekedar menonton, tapi secara tidak
langsung kita telah memberi andil dan paling minimal ridha dengan
perbuatan ghibahnya, belum lagi efek negatif dari gosip-gosip
tersebut.
0 Komentar