Wilayah
Islam makin meluas pada masa kekuasaan Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu.
Satu persatu negeri di sekitar Hijaz terbuka. Irak dan Persia di timur serta
Mesir dan Syam di Barat semua tunduk di bawah satu kekhalifahan Islam.
Di
negeri-negeri Islam yang baru tersebut, Umar mengutus beberapa sahabat Nabi
guna memimpin sekaligus mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat yang
belum lama memeluk Islam. Di antara mereka adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan
Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhuma.
Akan
tetapi pada 17 Hijriyah (sekitar 639 M) di negeri baru tersebut, muncul satu
wabah penyakit (tha’un) di Amwas, satu daerah di Palestina (Syam). Para
sejarawan muslim klasik hampir tidak ada yang melewatkan peristiwa wabah
dahsyat ini ketika menulis kepemimpinan Khalifah Umar.
Wabah
tha’un yang menyebar di Amwas merupakan penyakit kulit mematikan. Sejenis
penyakit kusta atau lepra. Ia berasal dari virus yang awalnya menyerang hewan
ternak. Orang yang terjangkit akan muncul borok pada kulitnya.
Wabah
sangat cepat menyebar di seluruh negeri Syam. Banyak manusia terjangkit
sehingga dalam tempo singkat puluhan ribu jiwa meninggal dunia. Di antara
mereka yang menjadi korban adalah Abu Ubaidah dan Mu’adz bin Jabar, dua sahabat
Nabi yang masyhur.
Dulu,
ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, beliau
pernah berpesan kepada para sahabat terkait wabah mematikan ini. Para sahabat
kembali teringat pesan tersebut saat wabah ini menyebar.
“Jika
kalian mendengar tentang wabah (tha’un) di suatu negeri, maka janganlah kamu
memasuki negeri itu. Apabila kalian berada di negeri yang terjangkit wabah itu,
maka janganlah kalian keluar darinya karena hendak melarikan diri darinya.”
(Riwayat Muslim).
Para
sahabat yang hidup di masa tersebarnya wabah tha’un mematuhi sabda Rasulullah.
Sebagai contoh, Ketika Khalifah Umar memanggil Abu Ubaidah kembali ke Madinah,
dengan penuh rasa hormat sahabat yang menjadi tameng Rasulullah di Perang Uhud
itu menolak.
Beliau
menulis dalam suratnya yang ia tujukan untuk sang khalifah:
“Wahai
Amirul Mukminin, aku telah memahami keperluan Anda. Tetapi aku sedang berada di
tengah-tengah kaum Muslimin yang sedang ditimpa malapetaka di Syam ini. Dan
tidak patut aku menyelamatkan diri sendiri. Aku tidak mau meninggalkan mereka
sampai Allah menjatuhkan takdir-Nya atas diriku dan mereka. Bila surat ini
telah sampai di tangan Anda, bebaskanlah aku dari perintah Anda dan izinkanlah
aku tetap tinggal di sini.” (Al-Basya, 2005: 7)
Umar
menangis membaca surat sahabatnya itu. Tidak lama berselang, terdengar berita
duka bahwa Abu Ubaidah menjadi salah satu korban dari wabah mematikan tersebut.
Para sejarawan muslim mencatat sekitar 25.000 sampai 30.000 korban meninggal
akibat wabah tha’un di Syam. Salah satu wabah penyakit terparah dalam sejarah
Islam.
Kita
mungkin sedikit memaklumi jumlah korban yang massif saat itu. Pada masa itu
(abad ke-7), belum ada penemuan mutakhir dalam ilmu kedokteran. Di abad ke-7,
ilmu kedokteran belum maju seperti abad ke-20 dan ke-21. Vaksin untuk penyakit
menular seperti cacar belum ditemukan oleh dunia kedokteran.
Akan
tetapi di masa itu Rasulullah telah memberikan suatu solusi, memang tidak bisa
mencegah seluruh, tapi setidaknya dapat meminimalisir jatuhnya korban lebih
banyak. Dikhawatirkan orang yang memasuki suatu daerah yang tersebar wabah
nantinya akan ikut terjangkit. Dan orang yang sudah terlanjur berada di daerah
tersebut dilarang keluar menuju daerah lain karena dikhawatirkan ia akan
membawa wabah tersebut keluar sehingga memakan korban lebih banyak lagi.
Bisa
dibayangkan seandainya Abu Ubaidah bersikeras untuk kembali ke Madinah.
Penduduk Madinah bisa terjangkit. Orang Madinah bisa menjangkiti penduduk
Mekkah. Penduduk Mekkah bisa menjangkiti penduduk Yaman saat berniaga ke
shan’a. Jika itu terjadi, maka seluruh Jazirah Arab akan terjangkit wabah
mematikan tersebut.
Hal itu
pula yang dipraktikkan oleh ilmu kedokteran modern. Mereka mengisolasi satu
daerah yang terjangkit wabah serta melakukan karantina terhadap orang-orang
yang terjangkit agar tidak menyebar lebih jauh, serta memberi vaksin terhadap
korban agar melemahkan virus dalam tubuh.
Virus
Mematikan di Eropa
Kita bisa
membandingkan wabah tha’un yang terjadi di dunia Islam dengan wabah mematikan
di Eropa abad ke-14 (sekitar 7 abad setelah peristiwa tha’un di Amwas). Wabah
yang dikenal dengan Black Death di Eropa membunuh sedikitnya 75 juta
jiwa (bahkan sampai 200 juta).
Di Inggris
populasi manusia berkurang dari 3,7 juta menjadi 2,2 juta akibat wabah
mematikan tersebut. Orang-orang Eropa tidak tahu bagaimana mencegah
penyebaran wabah tersebut. Mereka hanya bisa berdoa massal, berharap penyakit
mematikan itu berakhir. Tidak pernah ada yang menyampaikan kepada mereka
sebagaimana Rasulullah menyampaikan kepada umatnya terkait antisipasi wabah
menular. Kalaupun mereka mendengar sabda Rasulullah, orang-orang Eropa belum
tentu meyakini dan melaksanakannya.
Peristiwa
lebih mengenaskan terjadi di benua Amerika. Jumlah penduduk pribumi memang
menyusut akibat pembantaian massal. Tapi ada sebab lain yang membuat populasi
mereka jauh berkurang, yaitu wabah penyakit yang dibawa oleh penjajah Eropa.
Pada Maret
1520, sejumlah pasukan Spanyol tiba di Meksiko. Pada tubuh salah seorang di
antara pasukan itu bersemayam virus cacar (smallpox) yang siap menyebar.
Orang-orang Spanyol menginap di rumah penduduk pribumi. Dan dalam waktu singkat
virus menjangkiti satu keluarga. Kemudian meluas ke satu kota. Dari satu kota
wabah tersebut menjangkiti kota-kota di sekitarnya.
Di bulan
Oktober 1520 wabah memasuki Tenochtitlan, ibu kota bangsa Aztek yang
berkapasitas 250.000 jiwa. Wabah menyebar dengan cepat mengikuti kecepatan
angin. Sepertiga penduduk Tenochtitlan tewas, tak terkecuali sang raja Aztek,
Cuitlahuac. Penduduk pribumi tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat
menghadapi penyakit yang dibawa oleh bangsa Eropa. Sehingga penduduk pribumi
yang mendiami Meksiko ketika kapal-kapal Spanyol tiba pada Maret 1520 jumlahnya
tercatat 22 juta jiwa, pada bulan Desember menyusut drastis menjadi 14 juta
jiwa. (Harari, 2018: 10)
Begitu
pula ketika kapal Inggris pimpinan Kapten James Cook mencapai Hawaii pada
Januari 1778. Sekitar 500.000 penduduk Hawaii yang tidak pernah bersentuhan
dengan dunia luar, harus menerima takdir berupa berbagai macam wabah. Antara
lain tipus, TBC, dan cacar. Tercatat pada 1852, populasi pribumi Hawaii yang
masih hidup sisa 70.000 jiwa. (Harari, 2018: 10)
Mayat
bergelimpangan di rumah dan jalan-jalan. Suku Aztek menganggap kematian itu
akibat ulah para dewa yang marah. Sementara orang-orang Eropa yang sudah
menjadi pemeluk Katolik tidak pernah menyadari bahwa wabah itu adalah virus
yang menyebar dari kutu dan tikus lalu masuk dan berkembang dalam tubuh
manusia. Mereka bahkan menyarankan orang-orang yang terjangkit virus untuk
berobat dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
Kondisi
Dunia Islam dan Barat Abad Pertengahan
Abad
Tengah (Medieval Age) merupakan masa kejayaan Islam. Islam membangun peradaban
di segala bidang. Kota-kota Islam seperti Baghdad dan Cordoba tidak bisa
dibandingkan dengan London dan Paris sekalipun. Ilmu kedokteran di dunia Islam
jauh meninggalkan ilmu kedokteran di Eropa. Bahkan di awal abad modern,
orang-orang Eropa masih menggunakan buku-buku dokter muslim seperti Ibnu Sina
dan Ar-Razi sebagai rujukan.
Penyakit
sangat erat dengan pola hidup suatu masyarakat. Eropa abad Tengah merupakan
zaman kemunduran. Mereka tidak memahami pola hidup sehat. Tidak peduli soal
kebersihan. Jika umat Islam membersihkan dirinya minimal lima kali sehari,
rajin mandi minimal mandi sunnah setiap Jum’at, atau mandi janabah, maka orang
Eropa pada umumnya tidak terlalu memedulikan mandi.
Orang-orang
Spanyol ketika pertama mendarat di benua baru, penduduk pribumi (Indian) yang
menjadi guide mereka biasanya memegang dupa. Orang Spanyol pikir itu
sebagai penghormatan kepada mereka (yang dianggap sebagai dewa). Padahal hal
itu dilakukan oleh penduduk setempat karena merasa terganggu dengan bau badan
orang Spanyol.
Ibnu
Fadhlan, seorang utusan khalifah Baghdad masa Dinasti Abbasiyah, pernah
melakukan ekspedisi ke Rusia pada abad ke-10. Dalam memoarnya, Ibnu Fadhlan
memuji orang Eropa sebagai sosok yang memiliki bentuk tubuh sempurna. Badan
mereka menjulang ibarat pohon kurma, kata Ibnu Fadhlan.
Tapi di
halaman selanjutnya, Ibnu Fadhlan mencela mereka -orang Rusia- sebagai orang
yang paling jorok. Ibnu Fadhlan bahkan menulis:
Mereka
adalah salah satu bangsa paling jorok yang diciptakan Allah. Mereka tidak
beristinja’ sehabis buang air besar atau kecil, tidak mengenal mandi janabah,
dan tidak membasuk kedua tangannya setelah makan. Bahkan mereka tampak seperti
keledai liar…” (Fadhlan, 2017: 156)
Wallahu
A’lam
Penulis:
Mahardy Purnama, Pemerhati Sejarah.
0 Komentar